KEBESARAN KERAJAAN MAKASSAR (GOWA-TALLO)
Dahulu kala Kepulauan Aru dan sebagian Wilayah Maluku adalah bagian dari Wilayah Kerajaan Makassar (Gowa-Tallo)
Jauh sebelum kedatangan orang Eropa di Maluku, Orang Makassar yang
dikenal sebagai pelaut ulung telah berlayar sampai ke wilayah ini.
Bahkan wilayah kepulauan Aru, Maluku Utara pernah masuk dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Makassar (Gowa-Tallo).
Kerajaan Makassar (Gowa-Tallo) dikenal sebagai kerajaan yang mempunyai kekuatan armada laut yang besar dan disegani.
Banyak bukti yang menunjukkan kepiawaian orang Makassar mengarungi dan menaklukkan laut hanya dengan perahu layar.
Salah satu bukti tertulis adalah catatan Tome Pires yang dianggap sebagai sumber Barat tertulis yang paling tua.
Dalam laporannya Pires mengemukakan: “Orang-orang Makassar telah
berdagang sampai ke Malaka, Jawa, Borneo, negeri Siam dan juga semua
tempat yang terdapat antara Pahang dan Siam”.
Maka tak heran jika
wilayah kekuasaan Kerajaan Gowa pada pertengahan abad XVII dapat
meliputi sebagian besar kepulauan Nusantara bagian Timur, seluruh
Sulawesi, Sula, Dobo, Buru-Kepulauan Aru Maluku di sebelah timur,
termasuk Sangir, Talaud, Pegu, Mindanao di bagian utara. Bahkan sampai
Marege-Australia Utara, Timor, Sumba, Flores, Sumbawa, Lombok-Nusa
Tenggara di sebelah selatan, serta Kutai dan Berau di Kalimantan Timur
sebelah Barat.
Kerajaan Makassar (Gowa-Tallo) beberapa kali
mengirimkan armada lautnya untuk menaklukkan sejumlah wilayah di
Nusantara. Sejarah mencatat, untuk memperkuat pengaruhnya di Nusantara,
Sultan Alauddin mengirim pasukan ke beberapa daerah yang dianggap
strategis bagi pengawasan pelayaran niaga ke Maluku, salah satunya
adalah ke Pulau Sumbawa dibawah pimpinan Karaeng Maroanging.
Karaeng Maroanging mungkin tidak sepopuler Karaeng Bontomarannu sang
Panglima Angkatan Perang Kerajaan Gowa yang meninggalkan Makassar menuju
Pulau Jawa.
Namun tidak demikian jika kita berbicara akan pencapaiannya selama menjabat sebagai Panglima Angkatan Perang.
Berkat keberaniannya, akhirnya pulau Sumbawa dapat diduduki pada tahun 1618.
Satu tahun kemudian tepatnya 1619 Sultan Alauddin meresmikan penaklukan
tersebut, wilayah kekuasaan Kerajaan Makassar meluas sampai ke Bima,
Tambora, Dompu dan Sanggar di pulau Sumbawa.
Bima adalah daerah
pertama yang menjadi daerah taklukan Kerajaan Gowa (1616) yang pada
masa itu dipimpin oleh Lo’mo Mandalle sebagai Panglima Angkatan Perang
Kerajaan Gowa yang tiada lain adalah pendahulu dari Karaeng Maroanging.
Karaeng Maroanging wafat pada tanggal 17 maret 1622.
Dalam tahun 1632 orang Bima mengadakan perlawanan/pemberontakan. Maka
pada tanggal 25 November 1632 setelah kedatangannya dari Tanah Toraja,
Sultan Alauddin mengirim sebuah armada militer ke Bima dibawah pimpinan
Karaeng ri Bura’ne untuk memadamkan huru-hara tersebut.
Setelah berhasil menyelesaikan tugasnya, armada perang itu kembali ke Makassar pada tanggal 7 April 1633.
Tanggal 29 Januari 1642, Kerajaan Makassar kembali mengerahkan armada
perang Kerajaan Gowa ke Ambon (Hitu) untuk membantu rakyat setempat
melawan VOC.
Tahun 1634 – 1643, Rakyat Hitu (Ambon) di Maluku Tengah di bawah pimpinan Kakiali mengadakan perlawanan terhadap VOC.
Peristiwa yang dikenal dengan Perang Hitu Pertama ini terjadi akibat
politik monopoli perdagangan dan “Hongi Tochten” VOC yang sangat
menyengsarakan rakyat di kerajaan Hitu (Tanah Hitu).
I Baliung dan I Daeng Batu, keduanya adalah panglima perang kerajaan yang memimpin armada perang Kerajaan Gowa ke Ambon.
Tahun 1650, para bangsawan Ternate mengobarkan perlawanan di Ternate
dan Ambon, pemberontakan ini dipicu sikap Sultan Mandarsyah yang
terlampau akrab dan dianggap cenderung menuruti kemauan Belanda.
Para bangsawan berkomplot untuk menurunkan Mandarsyah.
Tiga di antara pemberontak yang utama adalah trio pangeran: Saidi, Majira dan Kalumata.
Majira sebagai salah satu pemimpin tertinggi pemberontakan menghadap
Raja Gowa untuk minta bala bantuan pasukan melawan Sultan Ternate dan
sekutunya (Belanda).
Raja Gowa memberi bantuan sebanyak 30
perahu lengkap persenjataan, dan mengutus Daeng ri Bulekang untuk
memimpin pasukan demi membantu rakyat Ambon dari penindasan Belanda
tersebut.
Berawal dari keberhasilannya mendamaikan dan
menaklukkan sejumlah wilayah di Nusantara, Kerajaan Gowa semakin luas
dan menguasai perdagangan rempah-rempah utamanya di wilayah-wilayah
penghasil rempah-rempah di Maluku.
Permulaan abad XVII, mulailah
bermunculan kapal-kapal Bangsa Eropa di perairan Nusantara dalam,
terutama di bahagian Timur Indonesia, orang-orang Eropa yang secara
langsung berlayar ke tempat-tempat penghasil rempah-rempah mengakibatkan
terjadinya persaingan di antara para pelaut dan pedagang rempah-rempah,
termasuk dengan saudagar Makassar dari Kerajaan Gowa-Tallo.
Kompeni Belanda menganggap orang-orang Makassar sebagai saingan yang berat.
Terlebih setelah orang-orang Belanda mengadakan perhitungan dengan
orang-orang Spanyol, Portugis, dan Inggris di Maluku, ternyata pelabuhan
Makassar selalu terbuka bagi bangsa-bangsa ini untuk datang berdagang
dan membeli rempah-rempah di Makassar yang harganya lebih murah dari
pada di daerah Maluku sendiri.
Tahun 1607 Cornelis Matelief tiba
di Ambon dan mengirim utusan ke Makassar untuk menyampaikan surat kepada
Raja Gowa, yang isinya meminta supaya Gowa menghentikan pengiriman
beras ke Malaka dan meminta agar Raja Gowa membuka pelabuhannya untuk
kapal-kapal Belanda.
Namun permintaan Belanda yang tidak di
pedulikan Gowa merenggangkan hubungan baik di antara Kompeni Belanda dan
Kerajaan Makassar.
Hubungan yang tidak harmonis makin menjadi,
terutama ketika Belanda berhasil memperoleh monopoli perdagangan
rempah-rempah di Maluku. Pedagang-pedagang Eropa lainnya dengan
sendirinya memindahkan pusat kegiatannya ke Makassar.
Di samping
untuk menjual barang dagangan yang dibawanya, juga yang terpenting
untuk membeli barang-barang dagangan yang diperlukan, terutama
rempah-rempah, kayu cendana dan kayu sappang.
Kondisi yang tidak sehat ini, menyebabkan Kompeni Belanda mengambil sikap menjauh dan mulai menjaga jarak.
Pada tahun 1615 Jan Pieterszoon Coen sebagai Direktur Jenderal atas
perdagangan Kompeni di Indonesia mempertimbangkan untuk menghapuskan
kantor di Makassar, yang berarti pula putusnya hubungan baik di antara
keduanya.
Tetapi sebelum rencana itu diputuskan dalam suatu
ketetapan, wakil dagang Belanda di Makassar Abraham Sterck atas kuasanya
telah meninggalkan kantornya dan memindahkan seluruh inventarisnya ke
kapal “Engkhuysen” yang sedang berlabuh di pelabuhan dan berniat
meninggalkan Makassar.
Akan tetapi dia memiliki sejumlah piutang kepada Raja Gowa.
Sebuah akal licik kemudian muncul dalam benaknya. Atas anjurannya, maka
kapitan Kapal Belanda itu mengundang sejumlah pembesar-pembesar
Kerajaan Makassar untuk datang melihat-lihat kapalnya.
Setelah pembesar-pembesar itu berada di atas kapal, maka mereka diserang dan senjata mereka dilucuti.
Abraham Sterck berniat menjadikan para pembesar Kerajaan Makassar ini sebagai sandera (gijselaar) dalam menagih utang raja.
Perkelahian pun terjadi di kapal itu. Peristiwa yang terjadi pada
tanggal 25 April 1615, menyebabkan kerugian di kedua belah pihak.
Kebanyakan pembesar Makassar yang datang itu tewas, menyisakan dua orang
saja, yakni Syahbandar Ince Husain dan Karaengta ri Kotengang (salah
seorang kerabat raja), keduanya lalu dibawa ke Banten.
Peristiwa ini sekaligus memicu ketegangan-ketegangan antara kedua belah pihak, meskipun belum secara besar-besaran.
Sultan Alauddin sangat gusar, tetapi masih dapat menahan diri menunggu
sampai kedua pembesar itu dikembalikan dengan selamat oleh Belanda.
Beberapa buah Kapal Belanda yang masih singgah di Makassar masih diterimanya dengan baik.
Tetapi setelah kedua pembesar itu tiba di Makassar dalam tahun 1616, barulah Raja melampiaskan pembalasan dendamnya.
Pada akhir tahun 1616 sebuah Kapal Belanda “De Eendragt” yang setelah
meninggalkan tanah airnya terdampar di Pantai Barat Australia, rupanya
tidak mengetahui terjadinya peristiwa Makassar dan penutupan Kantor
Belanda di Makassar.
Dari Australia kapal itu tiba di Laut Jawa melalui Selat Bali dan seterusnya berlabuh di Pelabuhan Makassar.
Begitu mereka turun ke daratan, kapal, muatan dan anak buahnya itu pun menjadi mangsa Orang Makassar.
Dan sejak itulah terjadi perang antara Kompeni dengan Makassar yang berlangsung bertahun-tahun lamanya.
Berpuncak pada kejatuhan Kerajaan Makassar pada tahun 1667 yang ditandai dengan ditandatanganinya Perjanjian Bungaya.
Beberapa orang pembesar Kerajaan Makassar yang menolak menyetujui
Perjanjian Bungaya dan tidak senang dengan kehadiran Belanda tetap
menjadi ancaman bagi Belanda (VOC) baik di darat maupun di lautan.
Beberapa tokoh sentral Gowa yang menolak menyerah salah satunya adalah Karaeng Galesong yang hijrah ke Tanah Jawa.
Bersama armada lautnya yang perkasa, mereka memerangi setiap Kapal Belanda yang mereka temui.
Belanda yang saat itu dibawah pimpinan Spellman menjulukinya sebagai “Si Bajak-Laut”.
Pelaut-pelaut Makassar menjadi Bajak Laut bagi Belanda (VOC) beserta
koloni-koloninya yang merupakan musuh-musuh mereka, sebagai bentuk
perlawanan mereka terhadap ketidakadilan.
Pelaut-pelaut Makassar berjuang untuk kemerdekaan dan kesejahteraan mereka.
Bagi mereka laut adalah sumber kehidupan dan kesejahteraan.
“Takunjunga’ Bangunturu’, Nakugunciri Gulingku, Kualleanna Tallanga Na
Toalia” (Tidak begitu saja aku ikut angin buritan, dan kuputar kemudiku,
Lebih kupilih tenggelam dari pada balik haluan).
Le’ba Kusoronna
Biseangku, Kucampa’na Sombalakku, Tamammelokka Punna Teai Labuang
(Ketika perahuku kudorong, Ketika layarku kupasang, Aku takkan
menggulungnya kalau bukan labuhan).
Itulah falsafah hidup Orang
Makassar. Sebuah falsafah yang menunjukkan betapa kehidupan orang-orang
Makassar sejak zaman dahulu sampai sekarang, begitu dekat dengan laut.
Maka tidak mengherankan jika orang-orang Makassar dikenal sebagai
pelaut-pelaut ulung.
Tome Pires menulis: “Gelombang tinggi dan laut yang sangat luas bukanlah hambatan bagi Pelaut Makassar.
Keberanian, kekasaran dan kematianlah yang akan mereka pilih jika diperhadapkan pada pilihan yang rumit.
Apalagi kalau itu menyangkut dengan harga diri dan kepercayaan yang dianutnya”.
Seorang pelaut portugis, Antonio de Paiva mencatat pertemuannya dengan
Baginda Sultan Malikkussaid (Raja Gowa ke-15) yang dikawal tidak kurang
dari 1.182 (seribu seratus delapan puluh dua) kapal perang Kerajaan
Gowa-Tallo yang menyertai Baginda Sultan Malikussaid saat melakukan
pelayaran ke Daerah Maje’ne.
Selain itu dalam Lontara Bilang
Gowa, tercatat pada 30 April 1655, Sultan Hasanuddin berlayar ke Mandar
terus ke Kaili dikawal 183 perahu.
Perjalanan Sultan Hasanuddin ke Maros, 29 Desember 1659 dikawal 239 perahu.
Ketika ke Sawitto, 8 Nopember 1661 Sultan Hasanuddin dikawal 185 perahu.
Dan pada bulan Oktober 1666, Sebanyak 450 perahu digunakan mengangkut sekitar 15.000 laskar Kerajaan Gowa ke Pulau Buton.
Kebesaran armada laut Kerajaan Gowa dahulu didukung oleh armada perahu yang besar dan tangguh.
Selain jenis perahu Phinisi yang dikenal sekarang ini, Kerajaan Gowa
pernah memiliki ribuan perahu jenis “Galle” yang mempunyai desain cantik
menawan yang dikagumi pelaut-pelaut Eropa, seperti I Galle I Nyannyik
Sangguk yang pernah ditumpangi oleh Baginda Sultan Muhammad Said (Sultan
Malikussaid) dalam pelayarannya ke Walinrang dan Negeri Bolong di Tanah
Toraja.
Perahu Galle Kerajaan Gowa memiliki konstruksi
bertingkat dengan panjang mencapai 40 meter dan lebar 6 meter. Tiang
layar besar dilengkapi pendayung 200 hingga 400 orang.
Setiap perahu Galle diberi nama tersendiri.
1. I Galle Dondona Ralle Cappaga panjang 25 depa atau 35 meter.
2. I Galle Nyannyik Sangguk dan I Galle Mangking Naiya, panjang 15 depa atau 27 meter.
3. I Galle kalabiu,
4. I Galle Galelangan,
5. I Galle Barang Mamase,
6. I Galle Siga, dan
7. I Galle Uwanngang
Lima perahu yang terakhir memiliki panjang masing-masing 13 depa atau sekitar 23 meter.
Di samping itu terdapat pula jenis-jenis perahu yang dibuat untuk
kepentingan tertentu, seperti jenis Perahu Binta untuk penyergapan,
Perahu Palari sebagai alat pengontrol wilayah kekuasaan di perairan dan
pesisir pantai, Perahu Padewakang untuk kepentingan dagang, Perahu
Banawa untuk mengangkut binatang ternak, Perahu Palimbang khusus
angkutan penumpang antarpulau, Perahu Pajala bagi nelayan penangkap
ikan, Perahu Birowang dan Perahu Bilolang untuk mengangkut penumpang
jarak dekat.
Selain sebagai armada perang, perahu-perahu tersebut
juga digunakan untuk menjalin hubungan persahabatan dan perdagangan
dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, juga dengan
kerajaan-kerajaan di Semenanjung Malaka, Madagaskar, bahkan Gujarat di
India.
Sumber: Muh.Yusuf Naba
Tidak ada komentar:
Posting Komentar